Artikel
28 Okt 2025
Di sebuah kota kecil di Blitar, harapan tak selalu tumbuh subur layaknya tanaman di musim hujan. Di sini, di SMKN 1 Kademangan, Bapak Kalim Mustofa, S.Pd., M.Pd., menyaksikan sebuah tantangan besar: lulusan vokasi yang pintar praktik, tetapi kerap hanya menjadi roda penggerak, bukan pemikir, dalam mesin industri nasional. Ini adalah konflik diam-diam yang menggelisahkan hatinya. Bagaimana membuat pendidikan vokasi tidak sekadar

mencetak pekerja, tetapi juga pencetus solusi?
Semangat itulah yang kemudian menjadi bibit dari sebuah perubahan. Bermodalkan keyakinan dan kolaborasi, lahirlah Agrotechnopark. Ini bukan sekadar kebun atau kandang praktik. Ini adalah sebuah ekosistem pembelajaran di mana tanah, ikan, dan ternak diajak berbicara dengan bahasa teknologi. IoT memantau kesehatan ayam, data mengatur siklus tanam, dan sistem terpadu menciptakan siklus kehidupan yang saling menguntungkan. Prosesnya penuh konflik: meyakinkan semua pihak, merangkul industri, dan membangun segalanya dari nol. Tapi, di situlah proses pembuktian terjadi.
Emosi kebanggaan dan keharuan terpancar ketika inovasi sederhana dari Blitar ini ternyata menggema hingga ke tingkat nasional. Agrotechnopark menjadi "Patok Banding Ketahanan Pangan," sebuah bukti bahwa solusi pangan modern bisa lahir dari ruang kelas. Siswa-siswa yang dulu mungkin hanya bercita-cita menjadi karyawan, kini menjadi peternak dan petani modern yang paham data dan teknologi. Sekolahnya berubah dari sekadar tempat belajar menjadi laboratorium hidup untuk ketahanan pangan.
Puncak dari perjalanan ini adalah sebuah surat undangan resmi. Bukan untuk menerima penghargaan biasa, tetapi untuk duduk sejajar dengan para pakar dari Badan Pangan Nasional, CIFOR-ICRAF, dan lembaga strategis lainnya. Bapak Kalim Mustofa diundang untuk menjadi Tim Penyusun Panduan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal.

Inilah hasil dan makna terdalam dari perjuangan panjang itu. Seorang guru vokasi dari Blitar tidak lagi hanya mengajar di depan kelas. Ia kini duduk di Hotel Mercure Batavia Jakarta, menyusun arah kebijakan pangan dan gizi untuk seluruh Indonesia. Ia membawa serta semangat Blitar, bukti nyata bahwa solusi terbaik seringkali lahir dari akar rumput, dari pemahaman mendalam terhadap potensi lokal.
Kisah Bapak Kalim Mustofa dan SMKN 1 Kademangan meninggalkan sebuah kesan yang mendalam: bahwa peran seorang pendidik vokasi telah melampaui batas-batas sekolah. Ia bukan lagi sekadar pengajar, melainkan jembatan penghubung yang vital antara dunia pendidikan, inovasi lokal, dan kebijakan nasional. Dari Blitar, ia membuktikan bahwa gurulah yang menanam benih, dan dari benih itu bisa tumbuh kebijakan yang memberi makan sebuah bangsa.




